BAB
11
HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL
1. Pengertian
Hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk
atau proses yang berguna untuk manusia pada intinya HKI adalah hak untuk
menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang
diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan
intelektual manusia.
2. Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam hak kekayaan intelektual adalah
prinsip ekonomi, prinsip keadilan, prinsip kebudayaan, dan prinsip sosial :
1.
Prinsip Ekonomi
Adalah hak intelektual berasal dari kegiatan kretif suatu kemauan daya piker
manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memberikan
keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan
2.
Prinsip
keadilan
yaitu di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja membuahkan
suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra
yang akan mendapat perlindungan dalam pemilikannya.
3.
Prinsip
kebudayaan
adalah perkembangan ilmu pengetahuan, sastra dan seni untuk meningkatkan
kehidupan manusia.
4.
Prinsip sosial
artinya hak yang diakui oleh hukumdan telah diberikan kepada individu merupakan
satu kesatuan sehingga perlindungan diberikan berdasarkan keseimbangan individu
dan masyarakat.
3. Klasifikasi Hak Kekayaan Intelektual
Secara umum Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi dalam dua
kategori, yaitu :
- Hak Cipta
- Hak Kekayaan Industri, yang meliputi :
- Hak Paten
- Hak Merek
- Hak Desain Industri
- Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
- Hak Rahasia Dagang
- Hak Indikasi
4. Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual
Undang-Undang Paten
- UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
(Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
- UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan
UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor
30)
- UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
(Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
Undang-Undang Merek
- UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek
(Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
- UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan
UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor
31)
- UU nomor 15 tahun 2001 tentang Merek
Undang-Undang Hak Cipta
- UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
(Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
- UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan
atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun
1987 Nomor 42)
- UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan
atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7
Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
- UU nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta
Undang-Undang Desain Industri
- UU nomor 31 tahun 2000 tentang Desain
Industri
Undang-Undang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
- UU nomor 32 tahun 2000 tentang Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu
Undang-Undang Rahasia Dagang
- UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 242)
5. Hak Cipta
Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
6. Hak Paten
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada
inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu
tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut kepada pihak lain untuk
melaksanakannya.
7. Hak Merek
Merek adalah suatu “tanda yang berupa gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang dan jasa.
Pemakaian merek berfungsi sebagai:
- Tanda pengenal untuk membedakan hasil
produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang lain atau badan
hukum lainnya;
- Sebagian alat promosi, sehingga
mempromosikan hasil produksinya cukup dengan menyebut mereknya;
- Sebagai jaminan atas mutu barangnya;
- Menunjukkan asal barang/jasa dihasilkan.
Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan yaitu:
- Orang/Perorangan
- Perkumpulan
- Badan Hukum (CV, Firma, Perseroan)
8. Desain Industri
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi,
atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan
daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan
estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta
dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau
kerajinan tangan.
9. Rahasia Dagang
Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di
bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam
kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
Sumber:
BAB
12
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
1. Pengertian Konsumen
Pengertian Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan
atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.”
2. Azas dan Tujuan
Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah
melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku
usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK
menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:
1. Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa
3. Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen
4. Menciptakan sistem
perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
5. Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
6. Meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
Sedangkan
asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 UU PK adalah:
1. Asas
manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak
ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua
belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2. Asas
keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai
hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini
konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya
secara seimbang.
3. Asas
keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta
pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih
dilindungi.
4. Asas
keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas
kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum
3.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK),
Hak-hak Konsumen adalah :
- Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- Hak untuk memilih barang dan/atau jasa
serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
- Hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
- Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
- Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut;
- Hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen;
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban
Konsumen
Sesuai
dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa;
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati;
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha adalah :
- hak untuk menerima pembayaran yang sesuai
dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
- hak untuk mendapatkan perlindungan hukum
dari tindakan konsumen yang beritikat tidak baik;
- hak untuk melakukan pembelaan diri
sepatutnya di dalam penyelesaiakan hukum sengketa konsumen;
- hak untuk rehabilitasi nama baik apbila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha adalah :
- beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya;
- memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
- memperlakukan atau melayani konsumen
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku;
- memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
- memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian.
5. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
1.
Larangan dalam
memproduksi/memperdagangkan, pelaku usaha dilarang memproduksi dan
memperdagangkan barang dan jasa,
2.
.
Larangan dalam menawarkan/mempromosikan/mengiklankan secara tidak
benar,
3.
Larangan dalam penjualan secara obral/lelang,
4.
Larangan dalam periklanan
6. Klausula Baku dalam Perjanjian
Pelaku Usaha Dilarang Membuat atau Mencantumkan 8 (Delapan)
Klausula Baku yang menyatakan:
- Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
- Pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
- Pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang atas pembayaran barang yang dibeli konsumen;
- Pemberian kuasa dari konsumen kepada
pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang
dibeli konsumen secara angsuran;
- Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
- Memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang
menjadi objek jual beli jasa;
- Tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha;
- Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak: tanggungan, gadai, jaminan terhadap barang yang dibeli
konsumen secara angsuran.
7. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 24
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku
usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen
apabila
a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan
perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut
b.pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui
adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau
tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari
tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila
pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada
konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut
Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya
berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib
menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi
jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha
tersebut
a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas perbaikan
b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang
diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan
dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab
atas kerugian yang diderita konsumen, apabila
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan
b. cacat barang timbul pada kemudian hari
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi
barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang
dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan
ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
8. Sanksi
Sanksi yang diberikan oleh undang – undang nomor 8 tahun 1999, yang
tertulis dalam pasal 60 sampai dengan pasal 63 dapat berupa sanksi
administrative, dan sanksi pidana pokok, serta tambahan berupa perampas barang
tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah
penghentiaan kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen,
kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabuatn izin usaha.
Sumber:
BAB
13
ANTI
MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
1. Pengertian
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti
monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya
juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang
artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata
tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah
“dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut
dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar
,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial,
dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk
tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum
tentang permintaan dan penawaran pasar.
B. Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU
No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh
kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan
persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting
competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
C. Kegiatan yang Dilarang dalam Antimonopoli
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat
2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing
yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang
dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada
pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik,
telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta
sepenuhnya.
D. Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah
perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar neger
Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan
pengambil-alihan :
– Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan
Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain
yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha
yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang
menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan
diri berakhir karena hukum.
– Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan
Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu
Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari
Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang
meleburkan diri berakhir karena hukum.
– Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk
memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset
Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian
terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut.
E. Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah
sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar, yang terdiri dari:
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk
persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
3. Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
F. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga
independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5
tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
G. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah
melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai
ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di
pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada
pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam
sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski
KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti
Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai
pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14,
Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15,
Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa:
a. Pencabutan izin usaha; atau
b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang
menyjavascript:void(0)ebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
Sumber :
BAB
14
PENYELESAIAN
SENGKETA EKONOMI
1. Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti
pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan
antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu
objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu
objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
2. Cara- Cara Penyelesaian Konflik
Cara-cara menyelesaikan konflik terdapat 3 cara, yaitu.
1.
Negosiasi
2.
Mediasi
3.
Arbitrase
1. Negosiasi
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua
pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak
ketiga.
2. Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak
memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama
proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah
atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau
konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu
gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya
harus memperoleh persetujuan dari para pihak
3. Arbitrase
Kata “arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”.
Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti
sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris),
arbitrage atau schiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikenal
dengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1950, yang mengaturtentang acara dalam tingkat banding terhadap
putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa
tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.
3. Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
- Negosiasi atau perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang
bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya.
Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution
dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
- Litigasi
adalah sistem penyelesaian sengketa melalui
lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi
akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan
dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak)
karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi
pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah:
1.
Ruang lingkup
pemeriksaannya yang lebih luas
2.
Biaya yang
relatif lebih murah
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1.
Kurangnya
kepastian hukum
2.
Hakim yang
“awam”
3.
Arbitrase
Kata “arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”.
Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti
sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris),
arbitrage atau schiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikenal
dengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1950, yang mengaturtentang acara dalam tingkat banding terhadap
putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa
tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
1.
Factum de
compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam suatau perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
2.
Akta Kompromis
yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.
Sebelum UU arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal
615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3
ayat 1 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
JENIS-JENIS ARBITRASE
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui
badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan
aturan-aturan yang sengaja di bentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya
Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang
menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang yang
telah disepakati oleh para pihak.
Arbitrase insitusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai
badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat
ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan
arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maupun yang
internasional seperti The Rules of Arbitration dari International Chamber of
Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre
for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan
tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
LINGKUP ARBITRASE
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan
melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa
lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU
Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak
yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.
Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa
sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas
Pasal 1851 s/d 1854.
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE
A. Sengketa Dagang
Sengketa atau perselisihan dalam kegiatan dagang sebenarnya sesuatu yang tidak
diharapkan terjadi, karena akan merugikan pihak-pihak yang bersengketa. Oleh
sebab itu, kemungkinan terjadinya sengketa dagang perlu diminimalisasi atau
dihindari, meskipun demikian terkadang sengketa tidak dapat dihindari karena
adanya kesalahpahaman, dan pelanggaran oleh salah salah satu pihak, atau timbul
kepentingan yang berlawanan. Perbedaan paham, perselisihan pendapat,
pertentangan maupun sengketa tersebut tidak dapat dibiarkan berlarut-larut dan
harus diselesaikan secara memuaskan bagi semua pihak. Meskipun tiap-tiap
masyarakat memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan perselisihan
tersebut, akan tetapi perkembangan dunia usaha yang berkembang secara universal
dan global mulai mengenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen,
“menguntungkan” dan memberikan rasa “aman” dan keadilan bagi para pihak.
PERADILAN ARBITRASE
Salah satu alternatif yang dapat ditempuh apabila terjadi sengketa adalah
dengan menggunakan arbitrase sebagai peradilan swasta, arbitrase ini dapat
dijadikan solusi terbaik dari perselisihan yang terjadi, karena penyelesaian
sengketa melalui peradilan wasit (arbitrase) memiliki arti penting dibanding
dengan pengadilan resmi seperti yang dikemukakan oleh HMN Purwosutjipto,
diantaranya:
1.
Penyelesaian
sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat.
2.
Para wasit
terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang
diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3.
Putusan akan
lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4.
Putusan
peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang
kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan
perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Apabila para pihak telah memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase baik
secara tertulis dalam kontrak maupun diluar kontrak, yang dengan tegas
memberikan kewenangan kepada arbiter untuk memutus pada tingkat pertama dan
terakhir, maka hal ini mengikat mereka sebagai Undang-undang sesuai dengan asas
keperdataan yang diatur dalam pasal 133 K.U.H perdata.
Dengan demikian pihak-pihak yang berselisih memilih cara penyelesaian sengketa
antara mereka dengan mengangkat seorang arbiter atau lebih, yang bertindak
sebagai penengah (arbitrator) dan memiliki kekuasaan untuk memutus (arbitrator
power) menurut kebijaksanaanya.
PUTUSAN ARBITRASE
Dalam menyelesaikan perselisihan dalam prakteknya para arbiter memutuskan
sebagai orang-orang baik, menurut keadaan dan kepatuhan. Hal ini sesuai dengan
prinsip-prinsip umum mengenai kontrak dalam hukum, yang harus dilaksanakan
dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan pasal K.U.H perdata. Para arbiter
yang diberikan kekuasaan untuk memberikan keputusan sesuai dengan keadilan maka
keputusan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, mereka juga terikat
memberikan alasan-alasan untuk keputusan mereka dan memperhatikan
peraturan-peraturan hukum.
Pemeriksaan dalam arbitrase dapat mengikutsertakan pihak ketiga di luar
perjanjian dalam proses penyelesaian sengketa dengan syarat terdapat unsur
kepentingan yang terkait, keikutsertaannya disepakati oleh para pihak yang
bersengketa, dan juga disetujui oleh arbiter atau majelis yang memeriksa
sengketa yang besangkutan (Pasal 30). Para pihak bebas menetukan acara
arbitrase yang akan digunakan selama tidak bertentangan dengan Undang-undang.
Putusan arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum yang berlaku, kecuali
dalam klausula atau persetujuan arbitrase tersebut telah diberikan kekuasaan
kepada (para) arbiter untuk memutus menurut kebijaksanaan (ex aequo et bonu)
(pasal 631 Rv). Dalam hal ini putusan yang diambil harus menyebutkan nama-nama
dan tempat tinggal para pihak berikut amar putusan nya, yang disertai dengan
alasan- dan dasar pertimbangan yang dipergunakan (para) arbiter dalam mengambil
putusan , tanggal diambilnya putusan, dan tempat dimana putusan diambil, yang
ditnda tangani oleh (para) arbiter. Dalam hal salah seorang arbiter menolak
menandatangani putusan, hal ini harus dicantumkan dalam putusan tersebut, agar
putusan ini berkekuatan sama dengan putusan yang ditanda tangani oleh semua
arbiter. (pasal 632 jo pasal 633 Rv)
Penyebutan tanggal dan tempat putusan diambil merupakan hal yang penting,
karena terhitung empat belas hari dari sejak putusan dikeluarkan, putusan
tersebut harus didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat, yaitu
tempat dimana putusan arbitrase telah diambil (pasal 634 ayat (1) Rv). Putusan
arbitrase tersebut hanya dapat dieksekusi , jika telah memperoleh perintah dari
Ketua Pengadilan Negeri tempat putusan itu didaftarkan, yang berwujud
pencantuman irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada
bagian atas dari asli putusan arbitrase tersebut . selanjutnya putusan
arbitrase yang telah memperoleh irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA” tersebut dapat dilaksanakan menurut tatacara yang biasa berlaku
bagi pelaksanaan suatu putusan pengadilan (pasal 639 Rv).
Menurut ketentuan pasal 641 ayat (1) Rv, terhadap putusan arbitrase yang
mempunyai nilai perselisihan pokok lebih dari 500 rupiah dimungkinkan untuk
banding kepada Mahkamah Agung. Selanjutnya dalam pasal 15 Undang-undang Nomor
1/1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan pengadilan Mahkamah Agung
Indonesia ditentukan pula bahwa hanya putusan dengan pokok perselisihan yang
memiliki nilai lebih dari 25.000 rupiah saja yang dapat dimintakan bandingnya
kepada Mahkamah Agung. Walaupun menurut kedua ketentuan tersebut, putusan
arbitrase dapat dimintakan banding, ketentuan pasal 642 Rv. Dengan jelas
menyebutkan bahwa tiada kasasi maupun peninjauan kembali dapat diajukan
terhadap suatu putusan arbitrase, meskipun para pihak telah memperjanjian yang
demikian dalam persetujuan mereka. Dapat ditambahkan disini bahwa kemungkinan untuk
meminta banding, seperti disebut diatas, dapat dikesampingkan oleh para pihak
dengan mencantumkan secara tegas kehendak tersebut dalam klausula atau
persetujuan arbitrase yang mereka buat tersebut (Pasal 641 ayat (1) Rv)
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE
Pelaksanaan putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yaitu putusan arbitrase
nasional dan putusan arbitrase asing (internasional). Putusan arbitrase
nasional adalah putusan arbitrase baik ad-hoc maupun institusional, yang
diputuskan di wilayah Republik Indonesia. Sedangkan, putusan arbitrase asing
adalah putusan arbitrase yang diputuskan di luar negeri.
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun
1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar
putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus
diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan
mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase
nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu
30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase
nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti
putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri
tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase
nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri,
terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional
yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30
Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa
dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk
arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri
dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya
hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase Asing (Internasional)
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada
ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara
peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah
Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah
mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1
tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan
dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut
hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa
diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi
putusan arbitrase asing.
HAPUSNYA PERJANJIAN ARBITRASE
Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian
sengketa terjadi peristiwa-peristiwa:
1.
Salah satu dari
pihak yang bersengketa meninggal dunia.
2.
Salah satu dari
pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, novasi (pembaharuan utang), dan
insolvensi.
3.
Pewarisan.
4.
Hapusnya
syarat-syarat perikatan pokok.
5.
Pelaksanaan
perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak
yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut.
6.
Berakhirnya
atau batalnya perjanjian pokok.
Sumber: